BUMDes di Kabupaten Kerinci Terancam Mati Suri, Belum Memiliki Badan Hukum, Bisakah Mewujudkan Ketahanan Pangan?

Kerinci Lintas Asia Net – Program Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) seharusnya menjadi motor penggerak utama untuk memperbaiki perekonomian masyarakat desa. Namun, alih-alih meningkatkan kesejahteraan, banyak BUMDes di Kabupaten Kerinci yang justru terancam mati suri dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.selasa (8/04/2025)

Dari 585 desa yang tersebar di 16 kecamatan di Kabupaten Kerinci, hanya 16 desa yang memiliki BUMDes dengan badan hukum. Sisanya, belum memiliki badan hukum sebagai landasan operasional, meskipun hal ini sudah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kewajiban BUMDes untuk memiliki badan hukum tercantum dalam Pasal 117 UU Cipta Kerja, yang juga dijabarkan lebih lanjut melalui Permen Desa PDT Nomor 3 Tahun 2021 dan Permenkumham Nomor 40 Tahun 2021, yang mengatur tentang pendaftaran dan pengesahan badan hukum BUMDes serta BUMDes Bersama.

Namun, meskipun hampir 90 persen desa di Kabupaten Kerinci telah mendirikan BUMDes, banyak di antaranya yang belum memberikan hasil nyata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Padahal, telah digelontorkan anggaran yang tidak sedikit, mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah sebagai modal awal.

Menurut Boy, salah satu aktivis LSM Pemuda Anti Korupsi, “Keberadaan BUMDes di Kabupaten Kerinci banyak yang tidak maksimal karena pengelolanya minim SDM yang kompeten dan tidak memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat. Hal ini membuat pengelolaan BUMDes tidak efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”

Lemahnya pengawasan dan manajemen yang tidak terencana menjadi faktor utama BUMDes di banyak desa terkesan mati suri. Banyak desa yang mendirikan BUMDes tanpa diikuti dengan manajemen yang profesional dan strategi yang jelas, sehingga tidak mampu meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes).

Lebih lanjut, BUMDes sering dikelola oleh individu yang tidak memiliki kompetensi yang memadai, yang akhirnya berdampak pada pengelolaan yang tidak sesuai dengan potensi dan kebutuhan desa.

Permasalahan lainnya adalah kurangnya perhatian terhadap BUMDes saat pergantian Kepala Desa. Sering kali, pengelola BUMDes tidak melakukan evaluasi menyeluruh terhadap keuntungan atau kerugian yang dihasilkan, sehingga program ini tidak mendapat perhatian yang serius.

“Pergantian kepala desa juga sering menjadi faktor penyebab terhambatnya perkembangan BUMDes, karena banyak kepala desa yang kurang peduli dengan keberlangsungan program ini, merasa bahwa tugas telah diserahkan kepada direktur BUMDes,” tambah Boy Bunyamin.

Tidak hanya itu, seringkali pergantian pengurus BUMDes yang dilakukan oleh kepala desa justru menambah kekacauan dalam administrasi dan pengelolaan BUMDes itu sendiri.

Meskipun Pemerintah Pusat telah menginstruksikan agar BUMDes menjadi prioritas dalam anggaran Dana Desa (DD), tanpa adanya perbaikan sistem dan tata kelola yang baik, instruksi tersebut bisa jadi hanya menjadi sebuah angin lalu, yang pada akhirnya hanya menghabiskan modal tanpa memberikan hasil yang signifikan.

Padahal, jika BUMDes dikelola dengan baik, sektor ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Terutama jika BUMDes difokuskan pada sektor produktif, seperti bisnis pascapanen atau pengembangan UMKM, yang dapat menjadi kunci sukses bagi program ini.

“Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah tegas untuk meningkatkan kapasitas SDM pengelola BUMDes, serta memperkuat regulasi yang mengatur pengelolaannya. Pembinaan dan pendampingan dari pihak yang kompeten sangat diperlukan agar BUMDes dapat beroperasi dengan baik dan memberikan keuntungan yang nyata,” pungkas Boy Bunyamin.(Adwi Putra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link
Powered by Social Snap