Lintas Asia Net,Kerinci-Di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh Provinsi Jambi per-sukuan (kelompok masyarakat) diatur dengan sebutan Luhah, Kalbu, Jurai, dan lain sebagainy. Dan setiap suku (baca Luhah) di kepalai Oleh Depati dan di bantu oleh Ninik Mamak/Rio/Pemangku. Pemilihan Depati Ninik Mamak ini diatur menurut garis keturunan suku ibu (matriliniar) yaitu dari paman turun ke kemenakan dalam istilah bahasa Kerinci disebut “Sejak Ninek turun ka Mamak, tibo di Mamak turun ka kito”.
Kepala Suku (Depati Ninik Mamak) dipilih oleh Anak Batino dan di naikkan secara ritual khusus penaikkan Sko dan di lantik di rumah Gedang tempat asal muasal Sko itu turun. Pelantikan Sko ini memiliki nama yang beragam, seperti di Siulak Gedang disebut dengan Nabah Gla. Di Siulak Kecil disebut dengan Nyarabah Glar. Di Semurup disebut dengan Kutubah Rajo. Sementara di Penawar disebut dengan Naik Sko/Njatuh Parabayo.
Setiap daerah memiliki sebutan yang beraneka ragam dalam maksud pelantikan Sko ini, namun pada intinya pelantikan sko ini bertujuan untuk si pemakai Sko dapat berjalan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai Depati Ninik Mamak yang termaktub dalam “Sumpah Karang Satio”.
Sumpah Karang Satio ialah sumpah pelantikan bagi “Pemangku Sko” (Kepala suku/klan) di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi saat penobatan gelar adat (penabahan gelar) atas seorang lelaki yang menjadi Depati/Ninik Mamak dalam suku/klan nya.
Adapun isi dari naskah Sumpah Karang Satio yang dibacakan saat penobatan Gelar Adat diantaranya adalah :
SUMPAH KARANG SATIO
Nak ilie ka indogiri, singgah berenti dusun palembang, jalan teruh ka sungai ipuh. Sayo ni tegak baradiri kak tiang panjang dengan sebatang. Sanak batino duduk batarlun batarimpuh.
Menghadap kepado kayo, bungkan dingan empat, tigo lurah isi Nagari. Diateh payung kembang sekaki, dibawah lapik buntak paradokan mas. Tuan duduk barasilo karang satio nak diparasumpahkan.
Kecik tu nak diberi namo, gedang tuh nak diberi gela. Namonyo : …………………………. kecik tu sudah diberi namo. Gedang tuh sudah diberi gelar. Menuhut sipanjang adat icuk-ico pegang pakai, lukis dingan banding, gantang idak kupak, cupak idak sumbing, sko gedang dilpeh. Gla gedang disanjung, di panaik di patuhun, depati di penaik, bereh seratuh kerbau saiku, nenek mamak di penaik, breh duo puluh kambing saiku. Menuhut sepanjang adat, megang ka cupak dingan gantang, megang ka adat dingan lembago, megang undang dingan taliti.
Megang ka anak buah anak kemenakan, ngan nepeh ka pagi nguhung ka petang. Ngan tau jengkun dingan paku, silang dingan salisih. Ngan tau uhang masuk uhang kalua, uhang datang uhang tibo, uhang datang nampak muko, uhang lahi nampak punggung.
Mengetahui uhang yuk uhang timpang, uhang ibuk balih rupo. Ngan tahu di hadits nabi dalil qur’an.
Diseru cepat tibo, diimbau cepat datang, diserayo cepat pgi. Jangan pulo bak kato uhang kini, pisau paraut ulunyo lentik, au cino belah dibelah, kalu paltut tuan jangan kno cdik, buat anak butino pecah belah. Lurus-lurus tuan kayo memakai, beruk dirimbo keno susu, anak dipangku kno buang. Kalu iyo kato ka iyo, kalu idak kato ka idak. Jangan pulo sko mlah manyan, sebelah ditating sebelah dipijak, gung gedang duo sigayo, titin gali dalam Nagari.
Kalu menimbang tuan mak samo berat, kalu mengukum mak samo adil. Jangan pulo snggam kiri snggam kanan. Kalu manimbag tuan idak samo berat, kalu mangukum idak samo adil. Batu hampa diateh kapalo, Pedang tajam ditapak kaki, Kalateh idak bapucuk, Kabawah idak baurat, Ditengah digirik kumbang, Kalu kadarat idak dapat makan, Kalu karayie idak dapat minum, Kunyit ditanam putih isi, Padi ditanam lalang ngan tumbuh, Dimakan sumpah karang satio dingan simangkuk. Pdang lah patah, baliung lah sumbing,
taletak ditengah laman, lah disumpah lah dibimbing,
karang satio diansak jangan. Kalu diansak karang satio, lah rebah sikandang pampeh, lah tirampa sikandang bangun, mencit masuk makahung masuk, lah hilang luko bapampeh, lah hilang mati babangun, bah tiang panjang yang sebatang, kecut payung ungkeh mahkuto, blang kurik terendam belang. Burung pikau terbang kelangit, tibo dilangit bacarito. Ilang pisau timbul penyahit, padam tuah cilako tibo. Kecik umbak gedang umbank, kapa lalu kamaro sakai, adat idak agamo idak, mano mbuh anak batino selesai.
SUMPAH KARANG SATIO
Mau kehilir ke Indragiri, singgah berhenti di dusun palembang, jalan terus ke sungai ipuh. Saya tegak berdiri di tiang panjang yang sebatang, saudari perempuan duduk beramai dan bersimpuh.
Menghadap kepada tuan, Leluhur yang Empat Tiga Suku isi Negeri. Diatas payung kembang satu kaki, dibawah lapik tempat duduk berhiaskan emas. Tuan duduk bersila Karang Setia mau di persumpahkan.
Kecil diberi nama, besar diberi gelar. Namanya…. (nama asli orang tsb), gelarnya : ……….. (gelar Sko). Kecil sudah bernama, besar sudah bergelar. Menurut sepanjang adat peraturan yang berlaku, dan yang sudah terpakai, gantang tidak pecah, cupak tidak sumbing, Sko Besar di lepas, Gelar Besar disanjung, di naikkan dan diturunkan. Depati di naikkan beras seratus kerbau seekor, ninik mamak dinaikkan beras dua puluh kambing satu ekor. Menurut sepanjang adat, memegang cupak dan gantang, memegang adat dengan lembaga, memegang undang dengan teliti.
Mengurus anak buah anak kemenakan didalam sukunya, di ibaratkan gembala yang melepaskan dipagi hari dan memasukkan kekandangnya di sore hari, orang yang mengerti tentang benar dan salah, orang yang mengetahui orang masuk kedalam sukunya dan orang yang keluar dari sukunya, orang yang datang dan orang yang tiba, orang datang menampakkan wajah, orang pergi menampakkan punggung.
Mengetahui orang berjalan lurus dan orang berjalan timpang, mengetahui orang laki-laki yang memenyerupai perempuan, dan orang perempuan menyerupai laki-laki, orang yang tahu di hadits nabi dan dalil Al-qur’an, di seru cepat sampai, di panggil cepat datang, di suruh cepat pergi. Jangan seperti kata orang sekarang, Pisau peraut hulunya lentik, aur cina belah di belah, kalau bohong tuan jangan dicerdikkan orang, membuat anak butino pecah belah. Lurus-lurus tuan anda memakai (sko/gelar), beruk di rimba di susukan, anak di pangku di buang. Kalau ia katakan ia, kalau tidak katakan tidak. Jangan pula Sko membelah bambu, sebelah diangkat sebelah di injak, gong besar dua irama, titian pelit dalam negeri.
Kalau menimbang tuan, supaya sama berat, kalau menghukum agar sama adil. Jangan pula segenggam di tangan kiri segenggam di tangan kanan. Jikalau menimbang tuan tidak sama berat, kalau menghukum tidak seadilnya, Batu pipih diatas kepala, pedang tajam di telapak kaki, keatas tidak berpucuk, kebawah tidak berurat, di tengah di girik kumbang. Kalau kedarat tidak dapat makan, kesungai tidak dapat minum, kunyit ditanam putih isinya, padi yang di tanam ilalang yang tumbuh, dimakan sumpah karang satio ngan simangkuk.
Pedang sudah patah, beliung telah sumbing
Terletak di halaman, sudah di sumpahi sudah dibimbing,
Karang satio di ansak jangan. Jikalau di ansak karang satio, rebah sekandang pampas, terhampar sekandang bangun, tikus masuk bengkarung masuk, sudah hilang luka berpampas, telah hilang mati babangun, rebah tiang panjang yang sebatang, kecut payung tanggal mahkota, belang kurik terendam belang. Burung pikau terbang kelangit, tiba di langit bercerita. Hilang pisau timbul penjahit, padam tuah celaka tiba. Kecil ombak besar ombak, kapal berlayar ke Muara Sakai, adat tidak agama pun tidak, manalah mungkin anak batino akan selesai.
Banyak contoh naskah Sumpah Karang Setio yang dibacakan sewaktu penaikkan Sko di tanah Kerinci, yang juga disebut “Nabah Gla, Nyerabah Gela, Kutubah Rajo, Njatuh Parabayo” dan lain sebagainya, namun isinya kira-kira seperti contoh naskah diatas.
Naskah Sumpah Karang Setio memiliki arti yang sangat sakral, dimana seorang Pemangku Sko dituntut untuk berilmu pengetahuan dan ilmu agama yang baik, orang yang ramah terhadap semua orang, berkata senantiasa berisi nasehat dan petuah kepada anak buah anak kemenakannya, tidak boleh pilih kasih dan bersikap adil.
Adapun isi Sumpah Karang Satio kepada orang yang dilantik / di tabahkan gelarnya secara adat adalah :
Dia harus mengurus anak Batino dan kemenakan didalam kalbu (suku/klan) tempat ia di nobatkan, mengetahui para kemenakan nya pergi kemana, sekolah dimana, kerja dimana, dan senantiasa menasehati para kemenakannya untuk arah yang lebih baik, di ibaratkan seperti gembala yang melepaskan di pagi hari dan menggiring pulang ke kandang di sore hari. Dia juga harus tahu kemenakannya yang telah menikah atau menetap di daerah lain, mengetahui orang yang datang merantau ke negerinya dan menumpang didalam sukunya, tahu akan perbedaan orang yang benar-benar perempuan dan benar-benar laki-laki.
Dia harus ikhlas, tahu ilmu agama dan ilmu pengetahuan, ketika di jemput anak buah anak kemenakan dengan sehelai sirih sebuah pinang maka ia akan cepat tiba, dipanggil cepat datang, di suruh untuk menyelesaikan suatu maksud maka ia akan pergi dengan cepat dan ikhlas. Jangan sampai ia mudah kena tipu oleh orang lain, sehingga anak buah anak kemenakannya di adu domba oleh orang lain. Jujurlah dalam menjunjung “Sko” jangan sampai seperti “Beruk di rimba yang kena susu, anak yang dipangku kena buang. Jangan sampai mengurus orang lain dengan baik, sementara anak buah anak kemenakan didalam sukunya di buang atau di sisihkan. Jikalau benar katakan benar jikalau salah katakan salah, jangan sampai seperti orang membelah bambu sebelah diangkat yang sebelah di injak. Artinya tiada perbedaan kedudukan anak batino, anak kemenakan didalam kalbunya, jangan yang memiliki harta banyak dan terpandang dimuliakan, sementara yang miskin di telantarkan.
Ketika menimbang harus sama berat, ketika menghukum harus dengan adil, jikalau sampai ia berpihak pada salah satu kelompok/golongan tertentu saat menghukum, dan tidak dengan adil, maka ia akan dimakan sumpah yang diikrarkan “batu pipih diatas kepala yang siap untuk memukul kepalanya, pedang tajam di telapak kaki yang siap untuk memotong kakinya” Keatas tidak berpucuk yang berarti ia tidak berkepala, kebawah tidak berurat yang artinya dia tidak memiliki daya untuk melangkah, dan di tengah di girik kumbang berarti perutnya akan dimakan oleh binatang berbisa” kesialan akan senantiasa menghantui hidupnya jika selama memakai “sko” tidak berlaku adil dan benar, seperti ungkapan “Padi yang ditanam ilalang yang tumbuh” “Kunyit ditanam, isinya menjadi putih”.
Dari sumpah karang satio diatas dapat diartikan bahwa seorang Kepala Suku didalam kalbu nya harus benar-benar bertindak dan berbuat sesuai tatanan norma agama dan norma adat yang berlaku. Begitu besar tugas dan tanggung jawab seorang pemangku adat di tanah Kerinci, ia dituntut untuk menegakkan “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. Syara’ yang mengato Adat yang memakai”.
Artinya Adat sejalan dengan Agama, yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah. Orang yang arif lagi bijaksana, suri tauladan didalam negeri.(**)